Misi Kasih KBKK ke Agats-Timika: Tuhan Tahu yang Kumau (1)

0

EWER, 19 Oktober 2011

Pagi-pagi sekali, kami telah bersiap pergi menuju AMA (Assosiated Mission Aviation) Office. Kami dihantar oleh Bruder Yan. bu Elly dan Sr. Serafika Ak pagi-pagi buta sudah bangun terlebih dahulu memasakkan nasi goreng . Namun tak ada waktu menunggu lagi, hingga akhirnya kami pergi tanpa sempat sarapan terlebih dahulu.  Ya biarlah nasi goreng buatan Bu Elly dan Suster Serafika dinikmati para bruder dan para pastur untuk menyantapnya.

Setibanya di AMA Office, kami langsung masuk ke tempat parkir pesawat charteran. Tentu ini merupakan sebuah pengalaman baru bagi saya: naik pesawat charteran di alam Papua di tengah hamparan luas. Segera masuklah pilotnya yang berkulit putih —sudah pasti bule. Dia datang lalu memeriksa baling-baling, lihat mesin, periksa kanan-kiri dan akhirnya duduklah pilot asing ini di kokpitnya dan dalam sekejap wuing-wuing-wuing… dan akhirnya mengudaralah pesawatku.

Rasanya beda                                                                                                                                      Perasaaanku berbeda kalau dipiloti orang asing dibanding bangsa sendiri. Mereka itu rasanya lebih teliti begitu… Prinsip kehati-hatian dengan melakukan check-and-recheck benar-benar mereka praktikkan.

Lama perjalanan terbang dengan pesawat charteran dari Sentani menuju Ewer kurang lebih satu jam.  Kata orang, sebenarnya jalur penerbangan Sentani-Ewer ini jauh lebih “berisiko” daripada jalur penerbangan Timika-Ewer. Mengapa? Kata orang lagi, karena jalur penerbangan Sentari-Ewer akan melewati puncak Gunung Trikora.

Waduuuh…. Akhirnya kami tiba dan mendarat dengan selamat di Ewer. Tapi ya…ampun! Ternyata, landasan pacu pesawat terbang di Ewer jauh dari apa yang pernah terlintas di benakku.  Pokoknya tiada bandingnya dengan landasan pacu pesawat terbang mana pun yang pernah aku lihat, selain ya di Ewer ini.

Apa pun keadaannya, saya merasa senang bisa mendarat dengan selamat tiba di Ewer. Nah, sebentar lagi, perjalanan menuju ke Agats akan dimulai. Kali ini, moda transportasinya adalah naik perahu dan bukan kapal!

Asyiknya menikmati perjalanan dengan perahu kecil menyusuri sungai gede menuju Agats adalah pemandangan bertemu dengan banyak kepiting. Tentu, ini menarik dan enak dikonsumsi. Bagi orang Jakarta, iming-iming bisa makan kepiting tentu sangat menggiurkan.

Sama asyiknya bermimpi makan durian tanpa batas di Wasior setahun lalu….dan kini sudah terbayang di depan mata: bisa makan sup kepiting sampai puas dan murah meriah di Agats. Akhirnya, “mimpi” lama bisa makan kepiting itu kesampaian pula, setelah Ci Sian dan Ibu Elly membeli kepiting dalam jumlah sangat banyak.

Momok itu bernama perahu
Sebetulnya mendengar kata perahu, itu sudah menjadi momok sangat menakutkan bagi saya.  Soalnya, sepanjang hidupku ini saya mah paling suka mabuk darat. Namun, entah mengapa dalam perjalanan jauh menyusuri sungai besar membelah daratan perairan di Agats itu, rasa cemas dan takut akan mabuk darat itu tiba-tiba saja sirna. Egepe-lah, kataku dalam hati.

Rasanya, Tuhan benar-benar tahu yang kumau kali ini….Jangan mabuk ya! Dan benar saja. Saya sama sekali tidak mabuk laut, tidak mabuk udara, dan juga tidak mabuk naik perahu. (Bersambung)

Share.

About Author

Leave A Reply