Misi Bakti Kasih KBKK ke Agats: Sopir dan Kernetnya Romo Umar OSC (4)

0

MENDARAT di Ewer dengan selamat dan tidak kurang suatu apa sungguh merupakan suatu berkah buat kami. Apalagi setelah kami sadari, kondisi fisik pangkalan terbang Ewer tidak pernah kami bayangkan sebelumnya…

Saat itu mulailah saya merefleksi: apakah kedatangan saya di Tanah Papua ini atas kemaunan diri saya sendiri atau Dia yang telah “menyuruh” kami semua agar bisa berjumpa menemui saudara-saudara sebangsa nun jauh di sana. Rasanya, yang kedua inilah yang membuat saya dan teman-teman dibuat menjadi lebih mampu dan mau melakukan bakti kasih ini.

Lamunan sejenak yang mengusik hati itu dalam sekejap sirna. Di depan mata sudah datang sambutan hangat. Romo Umar OSC dan Pak Hendry sudah datang lama ingin menjemput rombongan KBKK dari Jakarta.

Awalnya kami menyangka, pastilah di tempat ini kami akan melakukan bakti kasih. Ternyata tidak! Lokasinya masih jauh di depan mata, bahkan tak tampak. Karena itu, kami segera diminta naik semacam perahu kecil untuk menuju lokasi bakti kasih yang sebenarnya: di balik rerimbunan hutan lebat di depan kami.

Dengan perahu motor, akhirnya kami bertolak menuju lokasi Keuskupan Agats. Sopir sekaligus kernet perahu motor ini tak lain adalah Romo Umar OSC.

Dari pesawat AMA ke sebuah perahu motor. Tak mengapa. Sedikit berbangga juga karena perahu-perahu motor ini merupakan satu armada laut/sungai milik Keuskupan Agats. Bersama Romo Umar dibantu tenaga mekanis, kami pun melaju menyusuri aliran sungai; lengkap dengan bawaan bagasi dan perbekalan rombongan.

Mesin batuk-batuk
Di udara sempat dibuat ngeri sekaligus kagum. Begitu mendarat, hati serasa nyes…karena melihat kondisi bandara yang tak ‘lazim’. Kini menyusuri aliran sungai yang begitu besar dan luas, hati kembali dibuat takut.

Mesin motornya batuk-batuk…. Bahkan beberapa kali malah sempat mati. Pikiran sudah melayang kemana-mana. Merasa tidak aman. Ini sungai dengan lebar sangat besar: 1 km membentang dari ujung kiri dan kanan, hingga batas air di daratan juga tidak tampak.
Bahkan kata romo, di sungai nan besar ini masih berkeliaran buaya muara yang besar. Pun pula di tepian sama sekali tidak ada permukiman penduduk. Jadi, kami merasa seperti berada di …nowhere.

Kami hanya bisa berpasrah dan berdoa, sembari tetap yakin bahwa apabila Dia yang menyuruh kami, tentunya Dia pula lah yang akan mendampingi kami dan memampukan kami menghadapi semuanya.

Perjalanan kami menuju Keuskupan Agats dengan long boat ditempuh dalam waktu 45 menit di tengah teriknya matahari dan besarnya sungai yang kami lalui. Awalnya kami merasa sesuatu yang aneh, lantaran di sepanjang sungai tidak kami temui perkampungan penduduk…

Perjalanan mulai terasa menyenangkan, setelah Romo Umar OSC berhasil memperbaiki busi yang ternyata menjadi penyebab utama ngadatnya mesin long boat tersebut yang kami tumpangi. Setelah berjalan lancar dan tidak batuk-batuk lagi, kami pun mulai bisa menikmati pemandangan sungai yang amat sangat memukau.

Tiba di Wisma Keuskupan Agats Akhirnya kami semua tiba di Agats dengan selamat dan langsung menuju ke Wisma Keuskupan Agats yang menjadi base camp kami. Hari itu kami semua disediakan tempat bermalam di ISI CEM 3 oleh Romo Joned. Juga ada lagi sambutan yang luar biasa bagi kami: masing-masing bisa mendapatkan sekaleng minuman botol. .
Ini sungguh di luar dugaan. Kami semua merasa bahwa Tuhan, sungguh Ku tahu yang kau mau.. Usai beristirahat sejenak, kami semua diajak makan siang di Biara Ordo Salib Suci.
46 koli bawaan Setelah semua sambutan luar biasa yang kami terima, kami semua bisa beristirahat sore ini.

Malam harinya, kami sudah ditunggu makan malam di Biara Ordo Salib Suci dan mulai mengalokasikan barang-barang bawaan untuk masing-masing paroki yang akan kami kunjungi. Sekalian juga kami mulai merencanakan pengangkutan barang-barang lainnya yang banyaknya 46 koli. Karena pengangkutan hanya bisa dilakukan pada saat air pasang maka direncanakan akan segera diangkut sekitar tengah malam. Namun hal ini terpaksa dibatalkan mengingat kurangnya persiapan malam itu. Akhirnya diputuskan bahwa barang2 akan diangkut keesokan harinya.

Tanpa menginjak tanah                                                                                                                           Malam itu, kami semua dapat beristirahat dengan nyaman sekaligus mulai merenung bagaimana mereka semua orang di Agats ini bisa menjalani kehidupan tanpa ‘menginjak” tanah. Semua arus kehidupan di sini berlangsung di atas papan. Rumah-rumah dibangun di atas papan sekitar 1 meter di atas kawasan rawa-rawa. Sungguh suatu kebesaran Tuhan yang tidak pernah kita bisa bayangkan seandainya kita tidak mengalaminya sendiri.

Malam itu ditutup dengan pemandangan bulan purnama yang amat bagus, hal yang tak pernah kami lihat sebelumnya seumur-umur. Itu sungguh satu lagi anugerah Dia untuk kami yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. (Bersambung)

Photo credits: Megawati Lie, Ingrid Barata, Dokumentasi KBKK

Share.

About Author

Anggota KBKK

Leave A Reply